Kisah Uji Keperawanan nan Elegan di Lereng Gunung Lawu

Posted by Unknown Jumat, 23 Mei 2014 0 komentar
Sering kali keputusan saya untuk mengunjungi suatu tempat karena membaca atau melihat ulasan menarik tentang itu. Ini juga terjadi waktu saya membaca tulisan sesama blogger mengenai suatu situs candi yang berbeda sebab mengusung tema erotis pada relief-relief maupun arcanya. “Sepertinya aku akan segera mengunjungi Candi Sukuh di Jawa Tengah deh, temanya unik banget nih, jadi penasaran dengan apa yang dipikirkan leluhur kita,” demikian saya katakan kepada adik.
Adik langsung googling dan berkata, “Wah itu lokasinya di lereng Gunung Lawu dengan ketinggian 1.186 m di atas permukaan laut. Kalau naik mobil harus yang 2.000 cc.”
Plak, teringat kendaraan yang saya miliki cuma berdaya 1.300 cc, “Masa sih segitunya, di Puncak aku suka naik angkot 1.000 cc yang menyusuri jalan-jalan kecil dengan kemiringan sekitar 45 derajat, lancar-lancar aja tuh.” Saya segera menelpon kakak yang mukim di Jogja dan bekerja di hotel untuk konfirmasi medan, dia ternyata pernah sekali ke sana dengan rombongan turis mancanegara, “Waktu itu kan kita naik bus pariwisata yang cc-nya gede jadi tak ada masalah. Tapi memang jalannya menanjak banget dan sekarang sedang musim hujan, jalannya yang sempit pasti licin - mana sisi luarnya kan jurang.” Glek langsung ngeri dan mulai memikirkan alternatif lain, “Ya udah, aku ke pantai-pantai Jogja aja deh kan banyak yang bagus-bagus tuh.” Musim hujan gini ngapain ke pantai, ombaknya gede-gede. Saya belum menyerah, “Eh ternyata di Jogja banyak candi selain Prambanan dan Borobudur ya.” Ah itu kan candi kecil-kecil, biasa aja kok. Saya langsung tepok jidat, duh gini caranya kapan wisatanya? Saya jadi mesem-mesem sama adik memahami kenapa selama ini si kakak jarang piknik.
Akhirnya telpon suami dan cerita soal keinginan mengunjungi Candi Sukuh, “Kita ke Jogja dan sewa mobil 2.000 cc yuk.” Suami yang memang juga gemar mengunjungi situs-situs sejarah malah mengusulkan, “Kita pakai mobil sendiri saja.” Kamu yakin mobil kita bisa mencapai tujuan? Medannya berat lho. “Kita coba saja, kalau tidak kuat ya balik kanan.” Akhirnya suami mengatur waktu cuti yang cuma boleh diambil dua hari dalam sebulan digabung dengan hari libur kerjanya yang dua hari, jadilah dia dapat jatah libur empat hari. Berhubung jatah liburnya bukan pada hari Sabtu/Minggu maka si sulung tidak ikut karena harus sekolah, si bungsu yang masih TK dengan “rela hati” ikut. Saya sendiri terbang dari Jakarta. Pukul 8 pagi kami sudah berkumpul di rumah kakak di Jogja. Saya sebenarnya kaget juga suami sudah muncul, janjinya berangkat pukul 8 pagi jadi diperkirakan sampai Jogja sekitar pukul 1 siang. Rupanya suami mempercepat keberangkatannya jadi pukul 2 dini hari karena khawatir macet, saya langsung mengkhawatirkan si Bungsu. Benar saja si Bungsu masuk angin, kami melewatkan hari pertama di Jogja dengan beristirahat memulihkan kesehatan si Bungsu.
Perjalanan dimulai
Keesokan harinya si Bungsu sudah fit dan siaplah kami berangkat menuju lereng Gunung Lawu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta. Tidak mudah menemukan titik tujuan walaupun sudah mendapat petunjuk dari kakak, nyaris tidak ada petunjuk jalan dan GPS juga kurang jelas memberikan arah. Jadi waktu kami banyak tersita di jalan kota karena salah arah namun akhirnya sampailah kami di kaki Gunung Lawu dan petualangan pun dimulai.
Jalan yang semula lancar mulai tersendat karena mendaki dengan derajat kemiringan yang cukup curam. Beberapa kali mobil tersendat dan merangkak pelan, rupanya benar juga saran dari artikel yang dibaca adik. Paling ideal adalah mempergunakan mobil 2.000 cc. Perjalanan ternyata panjang dan mencemaskan, beberapa kali saya harus menahan napas. Belum lagi kami berhadapan dengan tikungan tajam. Saya rasa beberapa kali mobil berjalan dengan kecepatan di bawah 20 km/jam. Kecuraman tanjakan dikombinasikan dengan beberapa tikungan tajam, membuat mobil sepertinya susah sekali mendaki hingga saya bertanya, “Sanggup engga ya mobil kita?” “Tenang,” kata suami sembari tetap mengemudi. Dan ternyata bukan masalah mudah seandainya kami memutuskan untuk balik kanan sebab tidak ada lahan yang mencukupi. Makin tinggi kami berjalan makin terasa hawa nan dingin, mobil berjalan tanpa AC. Petunjuk jalan menuju Candi Sukuh tidak banyak, sesekali kami berhenti untuk bertanya dan memastikan tidak salah jalan. Akhirnya sampailah kami di suatu persimpangan jalan, ke kiri Candi Cetho – ke kanan Candi Sukuh. Langsung lega sebab berarti tujuan sudah dekat, benar saja tidak lama melanjutkan akhirnya sampailah di Candi Sukuh. Ditawari untuk didampingi guide yang sangat pandai dalam memberikan informasi, kami sekeluarga menikmati kisah unik di balik Candi Sukuh.
1378687791600174402
Candi Sukuh - Lereng Gunung Lawu
Candi Sukuh terletak di bagian barat kaki Gunung Lawu, dibangun di atas bukit yang dipenuhi tetumbuhan hijau dengan bunga-bunga. Hutan pinus seolah memayungi Candi Sukuh. Sungguh sangat menenangkan. Bentuk arsitekturnya berbeda dengan candi-candi yang ada di tanah Jawa yang kaya dengan ornament dan relief. Candi Sukuh sederhana dengan relief yang tidak rumit malah mirip piramida terpotong yang ada di Mesir. Beberapa mengatakan bahwa Candi Sukuh mirip bangunan peninggalan suku Maya di Mexico. Kesan sederhana ini menarik perhatian penelitian Belanda Dr. W.F. Stutterheim (1930) di mana akhirnya berkesimpulan bahwa kesederhanaan ini karena Candi ini dibangun di masa menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit yang tidak memungkinkan membangun Candi yang monumental dan memakan waktu yang lama. Sementara itu kebutuhan mendesak untuk memiliki tempat pemujaan. Ditengarai posisinya yang menghadap barat melambangkan keadaan tenggelam.
Ditemukan tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta semasa pemerintahan sir Thomas Stamford Raffles yang mengumpulkan data untuk penulisan “The History of Java”. Banyaknya patung dan relief yang melukiskan organ-organ seks dan perilaku seksual manusia di Candi Sukuh membuat reaksi miring dari pengunjung.
1378688200710142871
arca menggenggam kelamin
Padahal ada filosofi yang dalam pada Candi Sukuh itu. Yang paling jelas adalah lokasinya kompleks Candi yang terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama (Loka pertama) konon dianggap sebagai tingkat awal dari manusia, tepat di lantai di muka gapura ada relief lingga dan yoni. Dengan posisi sedang berhubungan. Inilah posisi awal terjadinya manusia, hubungan seks perempuan dan lelaki melalui ikatan suci pernikahan (terlihat dari lingkaran rantai yang mengelilingi). Saat ini relief ditutup dengan pagar. Tapi dahulu kala relief itu dijadikan pijakan awal untuk uji keperawanan. Disinilah seorang perawan memulai jejak langkahnya untuk menjalankan test keperawanan, ujian awal kesuciannya adalah melangkahi relief lingga dan yoni. Kemudian berlari sepanjang Loka kedua menuju bangunan induk Candi Sukuh yang terletak di Loka ketiga.
13786884211672003600
lingga & yoni
Untuk mencapai induk Candi Sukuh itu harus menaiki undakan yang sempit dengan batuan undakan yang relatif lebih tinggi dari batu undakan umumnya. Ini disengaja karena merupakan bagian dari ritual keagamaan waktu itu. Konon gadis yang pernah melakukan hubungan seks pranikah akan mengalami robek kain bahkan kain copot saat menaiki undakan itu. Ritual ini akhirnya berkembang lebih jauh -bukan sembarang gadis yang melakukannya tapi hanya dilakukan oleh gadis yang akan memasuki jenjang pernikahan. Bersama calon suaminya mereka mendatangi Candi Sukuh ini dan diharuskan tinggal beberapa hari di Bhurloka dan memperoleh bimbingan tentang hidup berumah tangga dari Ki Pajitu atau Ki Pocitro, putra Ki Guruyu – sosok yang berhasil mempertahankan Candi Sukuh. Saya jadi teringat belakangan ini berkembang berbagai wacana mengenai test keperawanan, informasi mengenai ukuran kelamin yang diminta beberapa Pemerintahan Daerah. Ternyata leluhur kita sudah melakukannya dengan cara yang lebih elegan.
13786889071516771849
relief rahim
Di area Loka ketiga ini banyak berserakan relief-relief dengan kisah-kisah dari Sadewa, Betari Durga, dan Bima. Saya lebih tertarik dengan satu relief yang menggambarkan rahim perempuan. Terlihat bahwa penggambaran rahim perempuan dengan isinya itu seperti menceritakan dari mana manusia berasal dan ke mana manusia akan kembali. Ada ornamen seorang ibu tengah jongkok memandikan bayi kecil. Di bawahnya ada dua manusia berebut seorang anak seolah menggambarkan tarik menarik antara karma baik (subakarma) dengan karma buruk (asubakarma). Pada akhirnya manusia itu sendiri yang menentukan pilihan hidupnya. Sementara tujuan kehidupan setelah mati dilukiskan dengan bersatunya roh dan dewa.
13786891231198991394
kabut mulai turun
137868926479136004
kabut menebal
Saat berada di induk Candi Sukuh perlahan kabut menurun dan menyelimuti kawasan Candi membuat suasana menjadi sangat misterius tapi indah. Kami perlahan berjalan mengelilingi kawasan Candi menikmatinya. Guide berusaha mengkaitkan turunnya kabut dengan fenomena mistis tapi kami lebih senang memaknai turunnya kabut itu sebagai kebesaran Ilahi pada mahakarya fenomenal leluhur.
1378689411714657397
alam sekitar
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kisah Uji Keperawanan nan Elegan di Lereng Gunung Lawu
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://langgenganjarwi.blogspot.com/2014/05/kisah-uji-keperawanan-nan-elegan-di.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by Cara Membuat Email | Copyright of Lank-genk Anjarwi.